Kamis, 26 April 2012

DAMPAK PROFESIONALISME GURU TERHADAP HASIL NILAI UJIAN NASIONAL


       Pendidikan di Indonesia merupakan cermin dilematis yang memprihatinkan. Selama 67 tahun Indonesia merdeka, sektor pendidikan seolah belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Tidak dipungkiri pemerintah sekarang sudah mulai memberikan perhatian yang cukup serius yang ditunjukkan dengan memberikan APBN yang lumayan banyak di sektor pendidikan. Pada tahun 2005 berdasarkan  amanat UUD 45 pasal 31 sudah mewajibkan anggaran pendidikan 20 persen. Untuk tahun 2012 ini telah ditetapkan jumlah anggaran negara untuk sektor pendidikan sebesar Rp.51,8 triliun. Jumlah ini tentu saja sebanding jika dibarengi dengan “ keseriusan “ pendidik dalam hal ini guru dalam meningkatkan kualitas pengajarannya. Pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan mengarahkan pemanfaatan anggarannya untuk meningkatkan aksesibilitas serta kualitas sarana dan prasarana pendidikan.

       Era Globalisasi yang tidak dapat dibendung mau tidak mau menuntut perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan terutama di Indonesia. Anak bangsa adalah aset utama kemajuan sebuah negara. Kita ambil contoh Irlandia, negara kecil yang berada di Uni Eropa ini mampu  berubah dari negara miskin di Eropa menjadi negara terkaya kedua di Uni Eropa, setelah Luxembourg. Perubahan di Irlandia ini dimulai akhir 1960-an saat pemerintah melikuidasi kebijaksanaan sektor pendidikan mereka dengan terobosan, menggratiskan sekolah menengah, yang berdampak anak-anak dari poor society memungkinkan bisa menyelesaikan sekolah menengah atau sekolah teknik. Bahkan pada tahun 1996, Irlandia membuat pendidikan tinggi mereka gratis, sehingga tenaga kerja berpendidikan lebih banyak lagi. Irlandia adalah contoh nyata bahwa kemajuan suatu negara ditentukan oleh SDM yang berpendidikan.
       
       Selain di Irlandia negara di Eropa yang terkenal mempunyai sistem pendidikan terbaik sedunia adalah Finlandia. Berdasarkan hasil survey internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan nama PISA (Programme for International Student Assesment) yang mengukur kemampuan siswa di bidang sains, membaca dan juga Matematika, Finlandia negara tempat asal nokia itu menduduki peringkat pertama. Setelah dilakukan analisa ternyata kuncinya terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah banyak. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk disekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingannya ketimbang masuk fakultas bergengsi lainnya seperti fakultas Hukum dan Kedokteran. Untuk menjadi tenaga pengajar (guru-guru) di Finlandia harus menjalani penyeleksian yang ketat. Hanya mereka yang memiliki gelar master dan merupakan orang-orang terbaik di universitasnya sajalah yang dapat menjadi guru di Finlandia. Karenanya, pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan terhormat dan bergengsi di sana, sama halnya dengan menjadi pengacara ataupun dokter. Negeri itu pun begitu menghargai pekerjaan sebagai guru. Hal tersebutlah yang membedakan dengan Indonesia, karena menjadi guru di Indonesia terkadang menjadi pilihan terakhir karena tidak diterima bekerja ditempat lain.

         Sebenarnya kalau kita cermati pendidikan di Indonesia, Fungsi dan tujuan pendidikan nasional sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yaitu : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Pendidikan merupakan tanggung jawab bangsa secara keseluruhan, baik orang tua, masyarakat, pemerintah, dll. Namun  peran guru sebagai komponen utama yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran tidak dapat diabaikan. Kualitas pembelajaran merupakan faktor terpenting dalam keberhasilan pendidikan. Kualitas pendidikan ini dapat diamati dalam beberapa aspek misalnya sarana prasarana pendukung dan kompetensi yang dimiliki guru

       Dalam kaitannya dengan kompetensi yang dimilki guru pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun  2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember 2005.   Pasal yang menyatakannya adalah Pasal 8: guru wajib memiliki kualifikasi  akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal lainnya adalah Pasal 11, ayat (1) menyebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sejalan dengan hal ini para guru yang telah mengajar dan belum memiliki serftifikat mengajar dididik dalam sebuah pelatihan yaitu PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) sehingga diharapkan sampai tahun 2013 semua guru telah memiliki sertifikat tersebut.

       Permasalahan yang timbul sekarang adalah apakah seorang guru yang memiliki sertifikat mengajar memang memiliki kualitas mengajar seperti yang dituntut ? ataukah hanya selembar sertifikat dimana guru yang bersangkutan masih mengajar dengan “model behula” ?. sedangkan yang sering menimbulkan kecemburuan sosial diantara para guru bersertifikasi dengan yang tidak ataukah instansi lain adalah adanya tunjangan profesi yang cukup besar. Sebenarnya sertifikat mengajar adalah bukti adanya keprofesionalan si pemilik. Artinya seorang guru yang memiliki sertifikat mengajar harus bersikap profesional senantiasa meningkatkan kualitas pengajarannya di kelas/lapangan, diantaranya meng-up grade kemampuanya baik dibidang pedagogik (penguasaan peserta didik) maupun keilmuan.

       Kaitannya dengan Ujian Nasional yang saat ini sedang di gelar adalah kualitas mengajar guru berimplikasi langsung terhadap daya serap materi pelajaran oleh peserta didik. Harus diakui masih banyak guru yang mengajar dengan cara lama, yang paling sering adalah ceramah. Meskipun pembelajaran dengan cara ceramah sudah umum dan bukan pula cara yang salah namun apabila sang guru tidak mampu mengemas metode ceramah ini maka pembelajaran akan terasa membosankan. Kurangnya penguasaan IT oleh sebagian guru juga sering dijumpai, padahal dalam era sekarang tehnologi informasi memegang peranan penting. Guru yang tidak melek tehnologi ini tidak akan mendapatkan informasi yang cepat mengenai perkembangan ilmu pengetahuan yang berakibat pada kurang akuratnya informasi yang diberikan pada peserta didik.  Hal yang menarik adalah demam Laptop/ Net Book dikalangan pendidik. Sekarang ini hampir semua guru menenteng Laptop, mungkin karena sekarang harganya semakin terjangkau tapi juga bisa dikarenakan fenomena Demam Laptop ini sehingga jika tidak punya laptop akan merasa malu. Fenomena ini sangat posiif jika berakibat pendidik mulai belajar melek tekhnologi namun nyatanya tidak semua seperti itu banyak guru yang memilki laptop tapi sama sekali tidak bisa menggunakannya.

       Profesionalisme guru seharusnya membawa dampak yang positif dalam kualitas pendidikan di Indoensia, sehingga harapan pemerintah dengan adanya sertifikat mengajar ini, guru yang bersangkutan tidak hanya meningkat perekonomiannya, namun juga mampu meningkatkan kualitas pengajarannya sehingga kedepan diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang lebih baik. 

Ditulis oleh : Esti Widiawati, seorang pengajar.

2 komentar:

  1. di Jepang, guru harus tahu cara mengajar yang bisa diterima anak dan harus menguasai perasaan/emosional anak. Dan yang penting, anak tidak boleh dipaksa belajar. Tapi begitu si anak ingin belajar, harus segera kita dukung krn saat itu otak bisa mendapatkan yang maksimal.

    BalasHapus
  2. kebetulan sekali penulis sempat membaca artikel mengenai pendidikan di Jepang yang menekankan pada moral/ nilai2 misalnya : rasa malu, harga diri dan jujur.hal tersebt sebenarnya yang kurang ditekankan di Indonesia, karena lebih banyak anak di Indonesia belajar menjadi sebuah "kewajiban" bukan "kebutuhan", sehingga banyak yang sekolah ntuk mendapatkan ijazah.bahkan adanya Ujian Nasional bukannya mendidik anak ntuk berusaha mendapatkan nilai tinggi dengan belajar tekun malah sebaliknya bagaimana lulus dengan "cara apapun" / menghalalkan segala cara ? sangat memprihatinkan. jika tidak keberatan tolong di sharing bagaimana secara praktik pendidikan di Jepang ntk menerapkan 3 nilai diatas (rasa malu, jujur dan harga diri).

    BalasHapus