Selasa, 07 Mei 2019

PEMANFAATAN MEDSOS DALAM PEMBELAJARAN IPA


Media Sosial di Indonesia mulai merebak sekitar awal tahun 2013, seiring dengan mulai menjamurnya gawai. Sebegitu maraknya sehingga hampir setiap orang memiliki gawai, termasuk anak-anak yang notabene belum waktunya memiliki dan menggunakannya. Untuk menyikapi kemajuan teknologi tersebut hendaknya orang tua dan guru dapat bersikap bijak. Penggunaan gawai semestinya dapat dimanfaatkan sebagai fasilitas pembelajaran.
Menurut pakar pendidikan, pembelajaran pada dasarnya adalah perubahan yang bertahan lama dalam perilaku, atau dalam kapasitas berperilaku dengan cara tertentu, yang dihasilkan dari praktik atau bentuk-bentuk pengalaman lainnya. Dalam konsep pembelajaran ini ada 3 kriteria : pembelajaran melibatkan perubahan, pembelajaran bertahan lama seiring dengan waktu, dan pembelajaran terjadi melalui pengalaman.
Seorang siswa dikatakan belajar jika ada perubahan perilaku, misalnya dari tidak bisa menjadi bisa, hasil akhir biasanya kita ambil sebagai bahan penilaian hasil belajar. Perubahan tersebut pula seyogyanya bertahan lama, misalnya seorang siswa mampu meloncat sejauh 3 m, maka apabila diminta mengulangi dia harus bisa melakukannya lagi. Sedangkan kriteria pembelajaran melalui pengalaman ini sebenarnya dasar dari teori konstruktivisme, dimana siswa mendapatkan pengetahuannya dari lingkungan, melalui pengamatan, pemecahan masalah sehari-hari, dll.
Menurut seorang pakar pendidikan, Dr. Pamela Phelps, selain memori emosi juga dapat membantu mengarahkan perhatian siswa dalam pembelajaran. Hal ini juga didukung oleh  Judy Willis, seorang guru sekaligus neurolog,  dalam tulisannya menyatakan bahwa ada bagian dalam otak yang disebut amigdala. Ketika seorang siswa merasa tak berdaya dan gelisah, maka amigdala ini akan berada dalam kondisi stress, takut atau terlalu teraktifkan karena gelisah. Hal ini menyebabkan informasi baru yang masuk ke wilayah penerima sensor inderawi di dalam otak tidak bisa melewati amigdala untuk mendapatkan akses menuju sirkuit memori.
Pernyataan Phelps dan Dr Willis ini menginspirasi penulis untuk bagaimana mengemas pembelajaran menjadi menyenangkan, bukan sesuatu momok yang menakutkan. Apalagi penulis mengampu mata pelajaran IPA yang oleh sebagian siswa dianggap sulit. Prinsip yang ingin ditekankan disini adalah bahwa belajar haruslah sesuatu yang menyenangkan, dapat dilakukan dengan rileks, dan dekat dengan kehidupan anak-anak (siswa).  Diharapkan  pembelajaran yang menyenangkan dapat  mempermudah otak dalam menyimpan informasi ke memori jangka panjang. Dalam artikel ini penulis menggunakan media sosial Facebook dalam pembelajaran IPA. Facebook ini digunakan untuk mendapatkan feedback dari siswa mengenai daya serap materi yang telah disampaikan guru berupa pengumpulan artikel setiap akhir KD  (Kompetensi Dasar) maupun berupa mind map ringkasan materi yang sudah diterima siswa. Selain itu guru juga dapat menggunakan fasilitas chatting untuk membahas materi-materi yang kurang jelas.
Saat ini facebook merupakan salah satu media sosial yang cukup akrab di kalangan siswa. Pemilihan facebook sebagai fasilitas pembelajaran didasarkan alasan bahwa menurut pengamatan penulis, hampir 90% siswa memiliki akun di fb. Dan merekapun sangat narsis alias suka memposting beberapa tulisan muskipun sekedar cerita-cerita kecil, foto, dll. Penulis merasa mengapa kita tidak mendekati siswa dengan sesuatu yang sudah akrab dengan kehidupan mereka, dan yang mereka sukai. Tugas yang diberikan guru meskipun agak sulit namun apabila hal tersebut terasa menyenangkan akan dilakukan dengan senang hati oleh mereka.
Syarat pertama yang harus terpenuhi adalah kita dan siswa yang kita ajar terkoneksi internet (facebook). Hal ini rasanya tidak terlalu sulit karena hampir semua gawai telah dilengkapi dengan fasilitas internet dan kemudahan dalam penggunaan kartu (sim card) prabayar yang lumayan hemat. Syarat kedua adalah memiliki akun Facebook, memiliki grup, dan pastikan semua siswa tergabung dalam grup tersebut.
Sistem penilaian yang digunakan guru meliputi isi makalah/tugas (kesesuaian antara apa yang ditagihkan dan yang dikerjakan siswa), tampilan (khususnya pada tugas mind map), dan ketepatan waktu pengumpulan (sebaiknya setiap tugas dilengkapi batas akhir pengumpulan, sehingga siswa terbiasa disiplin dalam pengerjaan tugas). Ketiga penilaian diatas dilakukan oleh guru, selain itu dapat juga dipertimbangkan penilaian yang dilakukan oleh teman sendiri. Caranya setelah batas akhir pengumpulan tugas guru dapat menampilkan hasil karya siswa di posting, siswa lain dapat mengklik “like” untuk menunjukkan apresiasi terhadap karya temannya tersebut. Penilaian yang dilakukan teman hanya sebatas popularitas (subyektif), namun hal ini dapat menjadi semangat untuk mengerjakan.
Pembelajaran dengan memanfaatkan media sosial hanyalah suatu sarana, siswa diajak berdiskusi, mengerjakan tugas namun mereka tetap senang, tidak merasa terbebani.
-- artikel ini pernah dimuat di media Jawa Pos tgl 17 maret 2019 klik link














Penulis : Esti Widiawati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar