Kasus merosotnya moral siswa sekolah semakin menjadi-jadi. Hampir tiap hari ditelevisi maupun Koran-koran memberitakan adanya kasus tawuran, pemalakan, obat-obat terlarang, bullying, bahkan sex bebas. Tidak tanggung tanggung pelakunya mulai siswa Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah. Banyak disinyalir penyebabnya adalah media informasi yang semakin mudah diakses anak. Seperti internet, televisi, CD, bahkan handphone yang notabene dulunya merupakan media komunikasi sudah berubah fungsi menjadi media interteinment. HP yang dapat dibeli dengan harga terjangkau masyarakat dengan fasilitasnya yang sangat lengkap mulai memutar lagu, merekam video, memutar film.
- Pada suatu sore didekat langgar santri-santri kecil dikejutkan dengan peristiwa penusukan yang menimpa temannya. Selidik punya selidik ternyata baik si penusuk maupun yang ditusuk adalah santri-santri yang sekolah ngaji setiap sore di langgar tersebut. Kasus segera dilaporkan ke polisi, si pelaku yang berstatus siswa kelas 1 smp di depan polisi menjelaskan sebab penusukan tersebut karena dia sakit hati sering diejek oleh temannya tersebut.
- Kasus tidak kalah miris adalah ditemukannya video amatir yang berisi adegan tidak semestinya antara siswa dengan siswi temannya di atas bangku kelas. Peristiwa yang sengaja direkam lewat handphone oleh si pelaku ini tidak sengaja dibuka oleh teknisi service HP karena HP tersangka rusak dan diservice ditempatnya. Video tersebut segera dilaporkan ke polisi, dan pelaku mengaku melakukannya di sekolah SMA setahun yang lalu.
- Tidak tahan karena setiap hari disekolah diledeki temannya, seorang siswi SMP bunuh diri. Sungguh cerita tragis, mungkin tanpa disadarii teman-temannya, ejekan yang tekesan hanya begitu saja telah membuat siswa kelas 9 SMP yang beberapa minggu lagi menempuh Ujian Akhir Nasional itu sedemikian tertekan. Rasa malu karena mempunyai bapak seorang penjual bubuk keliling, membuatnya memutskan untuk gantung diri di kamarnya.
- Dua siswa kelas 7 SMP babak belur dimassa karena ketahuan mencuri bensin eceran 2 lt di pinggir jalan. Sungguh naas siswa tersebut, hanya karena bensin seharga 10 ribu rupiah dia harus ngebut dijalan ketika aksinya diketahui si pemilik kios. Akibat ngebutnya itu dia menabrak seorang pengemudi motor dan meninggal seketika, dan ketika akhirnya menabrak warung makan dipinggir jalan habislah dia dipukuli massa.
- Pagi buta seorang penjaga sekolah ketika membersihkan halaman mendengar suara-suara yang “aneh” berasal dari ruangan rusak sekolah. Ruangan tersebut dulunya adalah ruang kelas namun karena kondisinya rusak termasuk kusen jendela yang terbuka dan pian-pian yang dimakan rayap maka kelas tersebut dikunci dan tidak terpakai. Namun sungguh aneh ada suara dari dalam sana dan ditemukannya sepeda yang terparkir disemak-semak. Si penjaga mengendap-endap dan apa yang dilihatnya sungguh membuat dia ngeri, ada seorang wanita dan pria yang dia tahu betul alumni siswa di SMP tersebut yang rumahnya memang tidak jauh dari sekolah sedang bertelanjang bulat.
- Anak SMP mengaku bersedia di booking 100 rb untuk tidur dengan pria. Pada suatu kesempatan disebuah warung kecil seorang siswi SMP ditawari uang 50 rb jika mau diajak “mojok”. Setelah tawar menawar jadilah 100 rb karena si cewek mengaku masih perawan.
Kasus MBA (married by accident) yang menimpa siswi baik di SD, SMP, maupun SMA/SMK sangatlah banyak, apakah semua itu semata-mata kurangnya pendidkan karakter di sekolah?
Pada suatu waktu ketika siswa di sidak HP, tenyata hanya ditemukan tidak lebih dari 3 anak dalam satu kelas yang membawa HP disekolah (ada peraturan dilarang membawa HP disekolah), namun penulis pernah menanyakan siapa saja yang mempunyai HP di rumah, Hpnya sendiri bukan punya ortunya, ternyata hanya 1 anak yang tidak mengacungkan jari. Artinya hampir 90% lebih siswa SMP mempunyai HP. Nah bukankah hal yang seperti itu juga ada andil orang tua, yang menyediakan fasilitas pada anaknya dengan HP yang canggih. Perlu dicatat HP jaman sekarang bukan lagi hanya menjadi sarana komunikasi namun lebih bergeser ke sarana entertaiment. Hampir semua HP mempunyai fasilitas video, baik untuk merekam maupun memutar, kamera, dll. Bahkan alat penyimpan file (MMC/MSD) sedemikian murah hanya dengan beberapa puluh ribu kita sudah mendapatkan MSD hingga 4 GB (ada berapa “film pendek” yang bisa direkam??).
Jam belajar siswa SD mulai jam 7 pagi sampai 11 siang, SMP jam 7 pagi sampai 12 siang dan SMA/SMK sekitar 6 jam disekolah. Jika satu hari ada 24 jam berapa sisa jam dihabiskan anak? Tentunya digunakan bermain, belajar, dll yang merupakan tanggung jawab orang tua. Tidak bermaksud melemparkan tanggung jawab, namun semestinyalah nasib generasi muda adalah tanggung jawab bersama. Orang tua sebagai pendidik utama dan pertama (yang memilih orang tua menjadi pendidik utama adalah Tuhan lho), guru sebagai pendidik ketika anak-anak disekolah, pemerintah sebagai pengambil kebijakan (kurikulum, dll) dan masyarakat.
Kepedulian pemerintah diwujudkan dengan perubahan kurikulum tahun 2013 nanti yang menitik beratkan pada “pendidikan karakter”, pemerintah menganggap hal-hal negatif yang terjadi pada remaja diakibatkan karena pendidikan karakter yang kurang di sekolah. Terlepas dari bentuk kurikulum 2013 yang akan diluncurkan oleh pemerintah marilah kita sadari bahwa factor penentu sifat dan karakter anak-anak adalah lingkungan dimana dia tinggal.
Hal menarik yang perlu kita renungkan adalah mengenai The Broken Window Theory (Teori jendela yang rusak). Dalam bukunya yang berjudul The Tipping Point karya Malcolm Gladwell diceritakan bahwa pada tahun 1990-an walikota dan kepala polisi kota New York membuat kebijakan yang unik untuk memberantas kriminalitas yang tinggi di kota itu. Kebijakan itu adalah membersihkan tanda-tanda ketidaktertiban yang kecil, seperti corat-coret di dinding pinggir jalan, sampah di jalanan, dan sebagainya. Memang sepertinnya hal-hal remeh seperti itu tidak ada hubungannya dengan tindakan kriminal berat, tapi ternyata setelah peraturan ini diterapkan dengan konsisten, angka kriminalitas di kota itu menurun drastis. Mereka membuat kebijakan ini berdasarkan sebuah teori yang terkenal di kalangan para peneliti perilaku manusia yang disebut The Broken Window Theory .
Teori yang dicetuskan oleh Wilson dan Kelling ini menyatakan bahwa munculnya tanda perilaku
kriminal yang tidak tertib tapi remeh akan memicu perilaku kriminal yang lebih tidak tertib. Akibatnya, ketidaktertiban akan tersebar. Karena itu, apabila kita ingin mencegah penyebaran tindakan kriminalitas, kita mesti segera menghilangkan tanda-tanda kriminal yang remeh dulu. Ibaratnya, kalau ada tanda ketidaktertiban kecil yang nampak berupa jendela rusak, dan jendela itu tidak segera diperbaiki pemiliknya, maka orang-orang yang melihat jendela rusak itu akan terpicu untuk bertindak kriminal yang lebih kacau. Misalnya melempari jendela rusak itu dengan batu. Agar itu tidak terjadi, jendela yang rusak itu harus segera diperbaiki.
kriminal yang tidak tertib tapi remeh akan memicu perilaku kriminal yang lebih tidak tertib. Akibatnya, ketidaktertiban akan tersebar. Karena itu, apabila kita ingin mencegah penyebaran tindakan kriminalitas, kita mesti segera menghilangkan tanda-tanda kriminal yang remeh dulu. Ibaratnya, kalau ada tanda ketidaktertiban kecil yang nampak berupa jendela rusak, dan jendela itu tidak segera diperbaiki pemiliknya, maka orang-orang yang melihat jendela rusak itu akan terpicu untuk bertindak kriminal yang lebih kacau. Misalnya melempari jendela rusak itu dengan batu. Agar itu tidak terjadi, jendela yang rusak itu harus segera diperbaiki.
Teori ini makin terkenal sejak suksesnya pemerintah kota New York itu. Meski begitu, banyak yang mempertanyakan kebenaran teori ini karena kurangnya bukti hasil eksperimen yang mendukungnya. Selain itu, teori ini tidak menjelaskan faktor apa sebenarnya yang membentuk ketidaktertiban. Untuk menguji teori ini, Kees Keizer, Siegwart Lindenberg, dan Linda Steg dari Universitas Groningen mengadakan serangkaian eksperimen di tempat yang ramai dikunjungi orang. Paper penelitian mereka dipublikasikan dalam majalah Science edisi 12 Desember 2008 dengan judul The Spreading of Disorder.
Eksperimen 1 : Perilaku Membuang Sampah
Dalam setiap eksperimen mereka, para peneliti itu merancang dua kondisi yang berbeda, yaitu kondisi tertib dan kondisi tidak tertib.Eksperimen pertama berlokasi di sebuah gang di kawasan pertokoan yang di sana orang biasa memarkir sepeda. Para peneliti membuat kondisi tertib dan tidak tertib. Pada kondisi tertib dinding gang dibuat bersih dari grafiti (corat-coret). Pada kondisi tidak tertib, dinding itu ditutup dengan grafiti. Pada setiap kondisi dipasang juga di situ tanda larangan berbentuk lingkaran merah dengan tulisan "Graffiti", yang berarti dilarang corat-coret di dinding. Tanda itu sangat mudah dikenali semua orang yang lewat di gang itu. Saat eksperimen berlangsung, baik dalam kondisi tertib maupun kondisi tidak tertib, sejumlah 77 orang memarkir sepedanya di situ. Tanpa sepengetahuan mereka, pamflet berisi ucapan selamat liburan dipasang di stang sepeda mereka. Pemilik sepeda akan merasa terpaksa menyingkirkannya supaya bisa menggunakan stang sepeda dengan mudah. Di tempat itu juga tidak disediakan tempat sampah.
Kondisi ini sengaja dirancang oleh para peneliti untuk melihat apa yang akan dilakukan para pemilik
sepeda. Apakah mereka akan bertindak tertib dengan membawa pamflet itu untuk dibuang di tempat sampah yang lokasinya jauh dari situ ataukah mereka akan membuang pamflet itu sembarangan (membuang ke tanah atau menggantungkannya di sepeda lain). Ternyata, dalam kondisi tertib (tanpa corat-coret di dinding) sebanyak 33% dari 77 orang pemilik sepeda itu membuang sampah sembarangan, sedangkan dalam kondisi tidak tertib sebanyak 69% membuang sampah sembarangan.
Pada eksperimen ini nampak perbedaan yang nyata perilaku para pemilik sepeda dalam kondisi tertib dan tidak tertib. Pada kondisi tertib, saat mereka melihat aturan corat-coret di dinding dipatuhi, hanya 33% yang membuang sampah sembarangan. Akan tetapi, dalam kondisi tidak teratur, ketika mereka melihat larangan corat-coret dinding itu dilanggar, jumlah orang yang membuang sampah sembarangan naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan jumlah dalam kondisi teratur. Kenyataan ini terkait dengan norma sosial yang sudah disetujui secara umum dalam setiap kondisi, yaitu bahwa membuang sampah sembarangan itu tidak baik. Bagaimana halnya dengan aturan yang bukan norma sosial, melainkan aturan yang dibuat oleh lembaga tertentu dalam kondisi tertentu?
Kondisi ini sengaja dirancang oleh para peneliti untuk melihat apa yang akan dilakukan para pemilik
sepeda. Apakah mereka akan bertindak tertib dengan membawa pamflet itu untuk dibuang di tempat sampah yang lokasinya jauh dari situ ataukah mereka akan membuang pamflet itu sembarangan (membuang ke tanah atau menggantungkannya di sepeda lain). Ternyata, dalam kondisi tertib (tanpa corat-coret di dinding) sebanyak 33% dari 77 orang pemilik sepeda itu membuang sampah sembarangan, sedangkan dalam kondisi tidak tertib sebanyak 69% membuang sampah sembarangan.
Pada eksperimen ini nampak perbedaan yang nyata perilaku para pemilik sepeda dalam kondisi tertib dan tidak tertib. Pada kondisi tertib, saat mereka melihat aturan corat-coret di dinding dipatuhi, hanya 33% yang membuang sampah sembarangan. Akan tetapi, dalam kondisi tidak teratur, ketika mereka melihat larangan corat-coret dinding itu dilanggar, jumlah orang yang membuang sampah sembarangan naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan jumlah dalam kondisi teratur. Kenyataan ini terkait dengan norma sosial yang sudah disetujui secara umum dalam setiap kondisi, yaitu bahwa membuang sampah sembarangan itu tidak baik. Bagaimana halnya dengan aturan yang bukan norma sosial, melainkan aturan yang dibuat oleh lembaga tertentu dalam kondisi tertentu?
Eksperimen 2 : Perilaku Mengembalikan Kereta Belanja
Eksperimen lainnya mencoba menjawab pertanyaan ini. Eksperimen ini berlokasi di tempat parkir yang berdekatan dengan sebuah supermarket dan klub kesehatan. Perusahaan pemilik supermarket itu membuat aturan bahwa pembeli yang menggunakan kereta belanja dan membawa kereta belanja itu ke tempat parkir harus mengembalikan kereta belanja itu ke supermarket setelah barang belanjaan di kereta belanja itu dimasukkan ke mobilnya. Sebuah stiker yang sangat mencolok bertuliskan "Please return your shopping carts" ("Mohon kembalikan kereta belanja Anda") dipasang di pintu-pintu masuk tempat parkir tersebut. Para peneliti merancang dua kondisi, yaitu kondisi teratur dan tidak teratur. Pada kondisi teratur, di tempat parkir sama sekali tidak ada kereta belanja yang belum dikembalikan. Pada kondisi tidak teratur, di tempat parkir itu nampak empat kereta belanja yang berserakan, yang menunjukkan bahwa kereta-kereta belanja itu tidak dikembalikan ke supermarket setelah dipakai pembeli. Perlu diketahui juga bahwa kereta-kereta belanja yang digunakan dalam kondisi tidak teratur itu tidak memiliki sistem deposit koin (yang bisa mengembalikan uang koin yang disimpan saat mengambil kereta belanja). Artinya, tidak ada kerugian uang yang akan diderita pembeli bila tidak mengembalikan kereta belanja ke supermarket. Para peneliti itu juga mengoleskan minyak di pegangan kereta supaya tidak ada orang yang menyingkirkan kereta belanja yang berserakan itu. Mereka juga meletakkan pamflet (seperti pada eksperimen berikutnya) di kaca depan mobil-mobil yang diparkir di situ (di bagian yang menghadap sopir).
Baik dalam keadaan teratur maupun tidak teratur sejumlah 60 pengunjung diteliti perilakunya, apakah mereka akan membuang sampah berupa pamflet itu secara sembarangan ataukah mereka membawa sampah itu ke tempat sampah di luar area. Hasilnya, sebanyak 30% pengunjung membuang sampah sembarangan pada kondisi tertib dan 58% pengunjung membuang sampah sembarangan pada kondisi tidak tertib. Dengan demikian, dua eksperimen telah menunjukkan bahwa kondisi tidak tertib mendorong lebih banyak orang untuk membuang sampah sembarangan daripada kondisi tertib.
Baik dalam keadaan teratur maupun tidak teratur sejumlah 60 pengunjung diteliti perilakunya, apakah mereka akan membuang sampah berupa pamflet itu secara sembarangan ataukah mereka membawa sampah itu ke tempat sampah di luar area. Hasilnya, sebanyak 30% pengunjung membuang sampah sembarangan pada kondisi tertib dan 58% pengunjung membuang sampah sembarangan pada kondisi tidak tertib. Dengan demikian, dua eksperimen telah menunjukkan bahwa kondisi tidak tertib mendorong lebih banyak orang untuk membuang sampah sembarangan daripada kondisi tertib.
Eksperimen 3 : Perilaku Mencuri
Ada eksperimen lainnya yang sangat menarik. Eksperimen ini ingin menguji apakah ketidaktertiban akan mendorong orang untuk mencuri. Para peneliti meletakkan sebuah amplop tepat di lubang kotak surat di pinggir jalan (ada bagian amplop yang tidak masuk ke kotak surat). Di amplop itu diselipkan selambar uang 5 euro dengan keadaan yang sangat jelas terlihat. Kotak surat itu sangat mudah dilihat orang yang mendekatinya. Para peneliti kemudian membuat 1 kondisi teratur dan 2 kondisi tidak teratur. Dalam kondisi teratur, kotak surat itu bersih dari corat-coret dan tanah di bawah kotak surat itu bersih dari sampah. Dalam kondisi tidak teratur yang pertama, kotak surat ditutup dengan corat-coret tapi tidak ada sampah di bawahnya. Kondisi tidak teratur kedua, kotak surat bersih dari corat-coret tapi sampah berserakan di bawahnya. Jangka waktu dan cuaca untuk ketiga kondisi tersebut sama. Para peneliti itu hendak melihat perilaku orang yang berjalan kaki sendirian yang melewati kotak pos itu, apakah dia mencuri uang 5 euro itu atau tidak. Membiarkan amplop atau mendorong amplop masuk ke kotak surat tidak dinilai mencuri, sedangkan membuka amplop atau mengambilnya dinilai mencuri. Pada kondisi teratur (tidak ada corat-coret dan tidak ada sampah), dari 71 orang yang diamati ada 13% orang yang mencuri amplop. Pada kondisi tidak teratur pertama (ada corat-coret), dari 60 orang yang diamati ada 27% orang mencuri amplop. Pada kondisi tidak teratur kedua (ada sampah berserakan), dari 72 orang yang diamati, ada 25% orang mencuri amplop.
Eksperimen ini menarik karena ada korelasi antara ketidaktertiban membuang sampah dengan tindakan mencuri. Di Groningen membuang sampah sembarangan umumnya ditoleransi oleh polisi, sedangkan mencuri tidak ditoleransi. Karena itu, hasil eksperimen ini dapat diartikan bahwa sebuah ketidaktertiban (sampah atau corat-coret) secara nyata dapat menumbuhkan sebuah ketidaktertiban baru (mencuri) dengan melemahkan niat untuk berperilaku yang benar. Para peneliti itu juga melakukan dua eksperimen lainnya dengan beberapa variasi. Kemudian, mereka merumuskan penemuan mereka dengan mengatakan :
“We found that, when people observe that others violated a certain social norm or legitimate rule, they are more likely to violate other norms or rules, which causes disorder to spread “(Kami menemukan bahwa apabila sekelompok orang menyaksikan orang lain melanggar norma sosial atau aturan hukum tertentu, sangat mungkin mereka akan melanggar norma atau aturan lainnya, yang menyebabkan tersebarnya ketidaktertiban). Dengan demikian, hasil eksperimen mereka telah mendukung The Broken Window. Bahkan, mereka mampu menjelaskannya dengan lebih rinci, yaitu bahwa ketidaktertiban itu akan tersebar apabila ada suatu aturan dalam lingkungan tertentu yang dilanggar oleh orang-orang di lingkungan tersebut dan tidak ada pihak yang mengoreksinya. Ketika orang lain menyaksikan pelanggaran itu, niat mereka untuk berbuat baik akan melemah, bahkan mereka akan terdorong untuk melakukan pelanggaran lain. Inilah yang pada akhirnya menyebabkan merebaknya kriminalitas.
Dalam sebuah pengamatan secara acak, penulis pernah mengamati bahwa siswa yang masuk ke dalam ruangan yang bersih dan teratur akan bersikap lebih sopan dan tertib. Namun apabila ruangan yang mereka masuki berantakan dan penuh coretan yang tidak teratur maka siswa cenderung akan bersikap seenaknya sendiri.
Eksperimen ini menarik karena ada korelasi antara ketidaktertiban membuang sampah dengan tindakan mencuri. Di Groningen membuang sampah sembarangan umumnya ditoleransi oleh polisi, sedangkan mencuri tidak ditoleransi. Karena itu, hasil eksperimen ini dapat diartikan bahwa sebuah ketidaktertiban (sampah atau corat-coret) secara nyata dapat menumbuhkan sebuah ketidaktertiban baru (mencuri) dengan melemahkan niat untuk berperilaku yang benar. Para peneliti itu juga melakukan dua eksperimen lainnya dengan beberapa variasi. Kemudian, mereka merumuskan penemuan mereka dengan mengatakan :
“We found that, when people observe that others violated a certain social norm or legitimate rule, they are more likely to violate other norms or rules, which causes disorder to spread “(Kami menemukan bahwa apabila sekelompok orang menyaksikan orang lain melanggar norma sosial atau aturan hukum tertentu, sangat mungkin mereka akan melanggar norma atau aturan lainnya, yang menyebabkan tersebarnya ketidaktertiban). Dengan demikian, hasil eksperimen mereka telah mendukung The Broken Window. Bahkan, mereka mampu menjelaskannya dengan lebih rinci, yaitu bahwa ketidaktertiban itu akan tersebar apabila ada suatu aturan dalam lingkungan tertentu yang dilanggar oleh orang-orang di lingkungan tersebut dan tidak ada pihak yang mengoreksinya. Ketika orang lain menyaksikan pelanggaran itu, niat mereka untuk berbuat baik akan melemah, bahkan mereka akan terdorong untuk melakukan pelanggaran lain. Inilah yang pada akhirnya menyebabkan merebaknya kriminalitas.
Dalam sebuah pengamatan secara acak, penulis pernah mengamati bahwa siswa yang masuk ke dalam ruangan yang bersih dan teratur akan bersikap lebih sopan dan tertib. Namun apabila ruangan yang mereka masuki berantakan dan penuh coretan yang tidak teratur maka siswa cenderung akan bersikap seenaknya sendiri.
Kaitannya dengan pendidikan di Indonesia marilah kita coba menata moral dan karakter siswa dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi alam pikiran mereka yang polos. Arus informasi memang tidak bisa dibendung namun yang lebih penting bagaimana anak-anak itu bisa membedakan mana hal yang pantas bagi mereka dan yang tidak. Jika ditelevisi anak biasa melihat sinetron dengan cerita-cerita yang kurang mendidik, disanalah mereka akan belajar. Apalagi jika mereka punya guru yang suka mengejek, maka kasus bullying menjadi hal yang lumrah. Apabila anak-anak tidak disiplin dan orang tua membiarkannya, maka mereka akan menganggap hal itu wajar. Silahkan anak-anak menonton televisi, maka sajikanlah tontonan yang bermutu, sajikanlah berita tentang perjuangan siswa diajang science internasional. Internet bukan hal yang perlu dihindari tapi apa saja yang diakses anaklah yang perlu dicermati. Dan pendidikan moral harus dimulai dari rumah, berupa contoh dari orang tua, bukan teori yang dihafalkan.
Penulis : Esti Widiawati
Referensi :
Gladwell Malcolm .
2000. The Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference . Little Brown,
United States.
Kees Keizer, Siegwart Lindenberg, dan Linda Steg. The Spreading of
Disorder.Science. 12 December 2008: Vol. 322 no. 5908 pp. 1681-1685
Tidak ada komentar:
Posting Komentar