Pendidikan di Indonesia
merupakan cermin dilematis yang memprihatinkan. Selama 67 tahun Indonesia
merdeka, sektor pendidikan seolah belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Tidak
dipungkiri pemerintah sekarang sudah mulai memberikan perhatian yang cukup
serius yang ditunjukkan dengan memberikan APBN yang lumayan banyak di sektor
pendidikan. Pada tahun 2005 berdasarkan amanat UUD 45 pasal 31 sudah mewajibkan
anggaran pendidikan 20 persen. Untuk tahun 2012 ini telah ditetapkan jumlah
anggaran negara untuk sektor pendidikan sebesar Rp.51,8 triliun. Jumlah ini
tentu saja sebanding jika dibarengi dengan “ keseriusan “ pendidik dalam hal
ini guru dalam meningkatkan kualitas pengajarannya. Pengalokasian anggaran
pendidikan 20 persen dari APBN dan mengarahkan pemanfaatan anggarannya untuk
meningkatkan aksesibilitas serta kualitas sarana dan prasarana pendidikan.
Era Globalisasi yang
tidak dapat dibendung mau tidak mau menuntut perubahan yang mendasar dalam
sistem pendidikan terutama di Indonesia. Anak bangsa adalah aset utama kemajuan
sebuah negara. Kita ambil contoh Irlandia, negara kecil yang berada di Uni
Eropa ini mampu berubah dari negara
miskin di Eropa menjadi negara terkaya kedua di Uni Eropa, setelah Luxembourg.
Perubahan di Irlandia ini dimulai akhir 1960-an saat pemerintah melikuidasi
kebijaksanaan sektor pendidikan mereka dengan terobosan, menggratiskan sekolah
menengah, yang berdampak anak-anak dari poor society memungkinkan bisa menyelesaikan sekolah menengah atau sekolah
teknik. Bahkan pada tahun 1996, Irlandia membuat pendidikan tinggi mereka
gratis, sehingga tenaga kerja berpendidikan lebih banyak lagi. Irlandia adalah
contoh nyata bahwa kemajuan suatu negara ditentukan oleh SDM yang
berpendidikan.
Selain di Irlandia
negara di Eropa yang terkenal mempunyai sistem pendidikan terbaik sedunia
adalah Finlandia. Berdasarkan hasil survey internasional yang komprehensif pada
tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
Tes tersebut dikenal dengan nama PISA (Programme
for International Student Assesment) yang mengukur kemampuan siswa di bidang sains,
membaca dan juga Matematika, Finlandia negara tempat asal nokia itu menduduki
peringkat pertama. Setelah dilakukan analisa ternyata kuncinya terletak pada
kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan
kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah
profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah banyak. Lulusan
sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk
disekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima,
lebih ketat persaingannya ketimbang masuk fakultas bergengsi lainnya seperti
fakultas Hukum dan Kedokteran. Untuk menjadi tenaga
pengajar (guru-guru) di Finlandia harus menjalani penyeleksian yang ketat. Hanya
mereka yang memiliki gelar master dan merupakan orang-orang terbaik di
universitasnya sajalah yang dapat menjadi guru di Finlandia. Karenanya,
pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan terhormat dan bergengsi di sana, sama
halnya dengan menjadi pengacara ataupun dokter. Negeri itu pun begitu
menghargai pekerjaan sebagai guru. Hal tersebutlah yang membedakan dengan Indonesia, karena menjadi guru di Indonesia terkadang menjadi pilihan terakhir karena tidak diterima bekerja ditempat lain.
Sebenarnya kalau kita cermati pendidikan di Indonesia, Fungsi dan tujuan pendidikan
nasional sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2003
Bab II Pasal 3 yaitu : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”. Pendidikan merupakan tanggung jawab bangsa
secara keseluruhan, baik orang tua, masyarakat, pemerintah, dll. Namun peran guru sebagai komponen utama yang terlibat
langsung dalam proses pembelajaran tidak dapat diabaikan. Kualitas pembelajaran
merupakan faktor terpenting dalam keberhasilan pendidikan. Kualitas pendidikan
ini dapat diamati dalam beberapa aspek misalnya sarana prasarana pendukung dan
kompetensi yang dimiliki guru.
Dalam kaitannya
dengan kompetensi yang dimilki guru pemerintah telah menetapkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen (UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember 2005. Pasal yang menyatakannya adalah Pasal 8:
guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal lainnya adalah
Pasal 11, ayat (1) menyebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dalam
pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sejalan dengan
hal ini para guru yang telah mengajar dan belum memiliki serftifikat mengajar
dididik dalam sebuah pelatihan yaitu PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru)
sehingga diharapkan sampai tahun 2013 semua guru telah memiliki sertifikat
tersebut.
Permasalahan yang
timbul sekarang adalah apakah seorang guru yang memiliki sertifikat mengajar
memang memiliki kualitas mengajar seperti yang dituntut ? ataukah hanya
selembar sertifikat dimana guru yang bersangkutan masih mengajar dengan “model
behula” ?. sedangkan yang sering menimbulkan kecemburuan sosial diantara para
guru bersertifikasi dengan yang tidak ataukah instansi lain adalah adanya
tunjangan profesi yang cukup besar. Sebenarnya sertifikat mengajar adalah bukti
adanya keprofesionalan si pemilik. Artinya seorang guru yang memiliki sertifikat
mengajar harus bersikap profesional senantiasa meningkatkan kualitas
pengajarannya di kelas/lapangan, diantaranya meng-up grade kemampuanya baik
dibidang pedagogik (penguasaan peserta didik) maupun keilmuan.
Kaitannya dengan Ujian
Nasional yang saat ini sedang di gelar adalah kualitas mengajar guru berimplikasi
langsung terhadap daya serap materi pelajaran oleh peserta didik. Harus diakui
masih banyak guru yang mengajar dengan cara lama, yang paling sering adalah
ceramah. Meskipun pembelajaran dengan cara ceramah sudah umum dan bukan pula
cara yang salah namun apabila sang guru tidak mampu mengemas metode ceramah ini
maka pembelajaran akan terasa membosankan. Kurangnya penguasaan IT oleh
sebagian guru juga sering dijumpai, padahal dalam era sekarang tehnologi
informasi memegang peranan penting. Guru yang tidak melek tehnologi ini tidak akan mendapatkan informasi yang cepat
mengenai perkembangan ilmu pengetahuan yang berakibat pada kurang akuratnya
informasi yang diberikan pada peserta didik.
Hal yang menarik adalah demam Laptop/ Net Book dikalangan pendidik.
Sekarang ini hampir semua guru menenteng Laptop, mungkin karena sekarang
harganya semakin terjangkau tapi juga bisa dikarenakan fenomena Demam Laptop
ini sehingga jika tidak punya laptop akan merasa malu. Fenomena ini sangat
posiif jika berakibat pendidik mulai belajar melek tekhnologi namun nyatanya
tidak semua seperti itu banyak guru yang memilki laptop tapi sama sekali tidak
bisa menggunakannya.
Profesionalisme guru
seharusnya membawa dampak yang positif dalam kualitas pendidikan di Indoensia,
sehingga harapan pemerintah dengan adanya sertifikat mengajar ini, guru yang
bersangkutan tidak hanya meningkat perekonomiannya, namun juga mampu meningkatkan
kualitas pengajarannya sehingga kedepan diharapkan mampu menghasilkan lulusan
yang lebih baik.
Ditulis oleh : Esti Widiawati, seorang pengajar.
di Jepang, guru harus tahu cara mengajar yang bisa diterima anak dan harus menguasai perasaan/emosional anak. Dan yang penting, anak tidak boleh dipaksa belajar. Tapi begitu si anak ingin belajar, harus segera kita dukung krn saat itu otak bisa mendapatkan yang maksimal.
BalasHapuskebetulan sekali penulis sempat membaca artikel mengenai pendidikan di Jepang yang menekankan pada moral/ nilai2 misalnya : rasa malu, harga diri dan jujur.hal tersebt sebenarnya yang kurang ditekankan di Indonesia, karena lebih banyak anak di Indonesia belajar menjadi sebuah "kewajiban" bukan "kebutuhan", sehingga banyak yang sekolah ntuk mendapatkan ijazah.bahkan adanya Ujian Nasional bukannya mendidik anak ntuk berusaha mendapatkan nilai tinggi dengan belajar tekun malah sebaliknya bagaimana lulus dengan "cara apapun" / menghalalkan segala cara ? sangat memprihatinkan. jika tidak keberatan tolong di sharing bagaimana secara praktik pendidikan di Jepang ntk menerapkan 3 nilai diatas (rasa malu, jujur dan harga diri).
BalasHapus