Live Long Education,
merupakan pepatah barat yang kira-kira dapat diartikan bahwa belajar adalah
pekerjaan sepajang hayat. Untuk seseorang dalam hal ini pebelajar (orang yang
sedang belajar/siswa) mampu melakukannya maka diperlukan penciptaan lingkungan yang
mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab pebelajar untuk
melakukannya sepanjang hayat. Dalam tulisan Lazanov (1978) yang dikutip oleh
DePorter, B.,( 2002: 3) dalam bukunya Quantum Learning, mengatakan bahwa sampai
sejauh mana seorang guru mampu mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan
pengajarannya, maka sejauh itu pula proses belajar mengajar itu berlangsung Ini
berarti. Sehingga dalam pembelajaran diharapkan dapat mengarahkan perhatian siswa ke dalam nuansa proses belajar seumur hidup dan tak terlupakan.
Menurut
Gagne (1977), belajar merupakan seperangkat proses yang bersifat internal bagi
setiap pribadi (hasil) yang merupakan hasil transformasi rangsangan yang
berasal dari peristiwa eksternal dilingkungan pribadi yang bersangkutan
(kondisi). Agar kondisi eksternal itu lebih bermakna sebaiknya diorganisasikan
dalam urutan peristiwa pembelajaran berupa metode pembelajaran ( Miarso, 2004).
Seseorang dapat dikatakan telah belajar sesuatu dalam dirinya telah terjadi
perubahan perilaku, akibat interaksi individu dengan lingkungan. Jadi hasil
belajar merupakan pencapaian tujuan belajar dan hasil belajar sebagai produk
dari proses belajar. Proses belajar mengajar adalah fenomena yang kompleks,
dimana melibatkan setiap kata, pikiran, tindakan, dan juga asosiasi. Menurut
Sadia (2006) terdapat empat pilar pendidikan seumur hidup yang ditetapkan oleh
UNESCO, yaitu 1) to learn to know (belajar untuk berpengetahuan), 2) to learn
to do (belajar untuk berbuat), 3) to learn to live together (belajar untuk
dapat hidup bersama), dan 4) to learn to be (belajar untuk jati diri).
Banyak
studi menunjukkan bahwa siswa lebih banyak belajar jika pelajarannya
memuaskan, menantang, dan ramah. Untuk itu diperlukan membangun ikatan
emosianal dengan siswa, yaitu dengan menciptakan kesenangan dalam belajar,
menjalin hubungan, dan menyingkirkan ancaman. Hal ini merupakan faktor yang
perlu diperhatikan untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Dengan
kondisi seperti itu, siswa lebih sering ikut serta dalam kegiatan sukarela yang
berhubungan dengan bahan pelajaran (Walberg, 1997 dalam DePorter, B., 2002:
23). Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam terhadap
fenomena belajar dan pembelajaran yang terdapat dalam Teori Belajar.
Ada
beberapa pendapat yang rancu mengenai Teori Belajar dan Teori Pembelajaran.
Menurut Bruner dalam Degeng, (1989), Teori belajar adalah deskriptif, karena
tujuan utamanya memeriksa proses belajar. Sedangkan teori pembelajaran adalah
preskriptif, karena tujuan utamanya menetapkan metode pembelajaran yang optimal
(Budiningsih, 2005: 11). Teori belajar lebih fokus kepada bagaimana peserta
didik belajar, sehingga berhubungan dengan variabel-variabel yang menentukan
hasil belajar. Dalam teori belajar, kondisi dan metode pembelajaran merupakan
variabel bebas dan hasil pembelajaran sebagai variabel tergantung. Dengan
demikian, dalam pengembangan teori belajar, variabel yang diamati adalah hasil
belajar sebagai efek dari interaksi antara metode dan kondisi. Hasil yang
diamati adalah hasil pembelajaran nyata (actual outcomes) dalam pengertian
probabilistik, yaitu hasil pembelajaran yang mungkin muncul, dan bisa jadi
bukan merupakan hasil pembelajaran yang dinginkan. Oleh karena teori belajar
adalah deskriptif.
Teori
Belajar sebenarnya sudah ada sebelum abad ke-20, yang termasuk didalamnya
adalah disiplin mental, teori pengembangan alamiah, dan teori apersepsi. Teori
belajar sebelum abad ke-20 dikembangkan berdasarkan pemikiran filosofis atau
spekulatif, tanpa dilandasi eksperimen. Setelah abad ke-20 mulailah para ahli
merumuskan Teori Belajar yang diperoleh dari berbagai eksperimen yang kemudian
dibagi dalam dua kategori yaitu : teori belajar perilaku (behavioristik) dan
teori belajar Gestalt-field. Teori belajar perilaku (behavioristik),
berlandaskan kepada stimulus-respons sedangkan teori belajar Gestalt-field,
berlandaskan kepada segi kognitif (Ali, 2000: 20). Sehingga dapat dikatakan
bahwa aliran behavioristik menekankan pada terbentuknya perilaku yang nampak
sebagai hasil belajar, sedangkan aliran kognitif lebih menekankan pada
pembentukan perilaku internal yang sangat mempengaruhi perilaku yang nampak
tersebut.
Teori Belajar
Behavioristik
Beberapa teori belajar perilaku (behavioristik), diantaranya Teori Classical Conditioning oleh Ivan Pavlov dan didukung oleh John B Watson, Teori Law Of Effect oleh Edward Lee Thorndike dengan pendukungnya Clark Hull, serta Teori Operant Conditioning oleh Skiner (Dahar, 1989: 39). Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gagne, Berliner, 1984). Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus (apa yang diberikan guru) dan output yang berupa respon (reaksi/ tanggapan siswa terhadap stimulus), sedangkan proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila stimulus dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin lemah atau bahkan hilang.
Teori Belajar Kognitif / Kostuktivisme
Sedangkan
teori belajar kognitif, meliputi teori belajar bermakna oleh Ausubel, teori
belajar pemahaman konsep oleh Jerome Bruner, teori Webteaching oleh Norman, teori
Hirarki belajar oleh Gagne, teori belajar Gestalt-field, dan teori perkembangan
oleh Piaget. Teori Piaget biasa juga
disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif.
Teori belajar Piaget berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa (ada 4 tahapan).
Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri
tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan teori
Piaget sangat berkaitan dengan teori belajar konstruktivistik (Ruseffendi, 1988 dalam Hamzah, 2001). Pernyataan
ini didukung oleh Sadia (2006), yang mengemukakan bahwa pandangan
konstruktivisme berakar pada teori struktur genetik Piaget. Berdasarkan teori
perkembangan kognitif yang dikembangkannya, Piaget juga dikenal sebagai
konstruktivis pertama.
Teori
konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.
Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka
harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, keaktifan siswa menjadi unsur yang sangat penting dalam menentukan kesuksesan
belajar. Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting
dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan
pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam
benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi
kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan
mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka
sendiri untuk belajar.
PERBEDAAN ANTARA KE DUA TEORI
NO
|
TEORI
BEHAVIORISME
|
TEORI
KONSTRUKTIVISME
|
1
|
Memiliki paradigma keteraturan
|
Memiliki paradigma
kesemrawutan/ tidak teratur
|
2
|
Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi.
|
Pengetahuan adalah non-objective, temporer, selalu berubah,
dan tidak menentu.
|
3
|
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindah-kan pengetahuan ke orang yang belajar.
|
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit,
aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah
menata lingkungan agar siswa Termotivasi dalam menggali makna serta
menghargai ketidakmenentuan.
|
4
|
Mementingkan hasil belajar
|
Menitikberatkan pada proses perolehan pengetahuan
|
5
|
Siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh guru itulah yang
harus dipahami oleh siswa.
|
Siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap
pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya.
|
6
|
Fungsi pikiran adalah men-jiplak struktur pengetahuan melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan
|
Fungsi pikiran sebagai alat untuk menginterpretasi peris-tiwa,
objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang
dihasilkan bersifat unik dan individualistik
|
Ditulis oleh : Esti W Mulyanto
Referensi :
Dahar, R.W.
1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK
DePorter, B.
2002. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang Ruang Kelas.
Penerjemah, Ary Nilandari. Edisi 1. Cetakan ke-10. Bandung: Kaifa
Sadia, I W.
2006. Model Pembelajaran Konstruktivistik (Suatu Model Pembelajaran Berdasarkan
Paradigma Konstruktivisme). Materi Perkuliahan Landasan Pembelajaran. PPS
Undiksha Singaraja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar