Media Sosial di
Indonesia mulai merebak sekitar awal tahun 2013, seiring dengan mulai
menjamurnya gawai. Sebegitu maraknya sehingga hampir setiap orang memiliki gawai,
termasuk anak-anak yang notabene belum waktunya memiliki dan menggunakannya.
Untuk menyikapi kemajuan teknologi tersebut hendaknya orang tua dan guru dapat
bersikap bijak. Penggunaan gawai semestinya dapat dimanfaatkan sebagai
fasilitas pembelajaran.
Menurut pakar
pendidikan, pembelajaran pada dasarnya adalah perubahan yang bertahan lama
dalam perilaku, atau dalam kapasitas berperilaku dengan cara tertentu, yang
dihasilkan dari praktik atau bentuk-bentuk pengalaman lainnya. Dalam konsep
pembelajaran ini ada 3 kriteria : pembelajaran melibatkan perubahan,
pembelajaran bertahan lama seiring dengan waktu, dan pembelajaran terjadi
melalui pengalaman.
Seorang siswa
dikatakan belajar jika ada perubahan perilaku, misalnya dari tidak bisa menjadi
bisa, hasil akhir biasanya kita ambil sebagai bahan penilaian hasil belajar.
Perubahan tersebut pula seyogyanya bertahan lama, misalnya seorang siswa mampu
meloncat sejauh 3 m, maka apabila diminta mengulangi dia harus bisa
melakukannya lagi. Sedangkan kriteria pembelajaran melalui pengalaman ini
sebenarnya dasar dari teori konstruktivisme, dimana siswa mendapatkan
pengetahuannya dari lingkungan, melalui pengamatan, pemecahan masalah
sehari-hari, dll.
Menurut seorang
pakar pendidikan, Dr. Pamela Phelps, selain memori emosi juga dapat
membantu mengarahkan perhatian siswa dalam pembelajaran. Hal ini juga didukung
oleh Judy Willis, seorang guru sekaligus
neurolog, dalam tulisannya menyatakan
bahwa ada bagian dalam otak yang disebut amigdala.
Ketika seorang siswa merasa tak berdaya dan gelisah, maka amigdala ini akan berada dalam kondisi stress, takut atau terlalu
teraktifkan karena gelisah. Hal ini menyebabkan informasi baru yang masuk ke
wilayah penerima sensor inderawi di dalam otak tidak bisa melewati amigdala
untuk mendapatkan akses menuju sirkuit memori.
Pernyataan
Phelps dan Dr Willis ini menginspirasi penulis untuk bagaimana mengemas
pembelajaran menjadi menyenangkan, bukan sesuatu momok yang menakutkan. Apalagi
penulis mengampu mata pelajaran IPA yang oleh sebagian siswa dianggap sulit.
Prinsip yang ingin ditekankan disini adalah bahwa belajar haruslah sesuatu yang
menyenangkan, dapat dilakukan dengan rileks, dan dekat dengan kehidupan
anak-anak (siswa). Diharapkan pembelajaran yang menyenangkan dapat mempermudah otak dalam menyimpan informasi ke
memori jangka panjang. Dalam artikel ini penulis menggunakan media sosial
Facebook dalam pembelajaran IPA. Facebook ini digunakan untuk mendapatkan feedback dari siswa mengenai daya serap
materi yang telah disampaikan guru berupa pengumpulan artikel setiap akhir KD (Kompetensi Dasar) maupun berupa mind map ringkasan materi yang sudah
diterima siswa. Selain itu guru juga dapat menggunakan fasilitas chatting untuk
membahas materi-materi yang kurang jelas.
Saat ini
facebook merupakan salah satu media sosial yang cukup akrab di kalangan siswa.
Pemilihan facebook sebagai fasilitas pembelajaran didasarkan alasan bahwa
menurut pengamatan penulis, hampir 90% siswa memiliki akun di fb. Dan merekapun
sangat narsis alias suka memposting beberapa tulisan muskipun sekedar
cerita-cerita kecil, foto, dll. Penulis merasa mengapa kita tidak mendekati
siswa dengan sesuatu yang sudah akrab dengan kehidupan mereka, dan yang mereka
sukai. Tugas yang diberikan guru meskipun agak sulit namun apabila hal tersebut
terasa menyenangkan akan dilakukan dengan senang hati oleh mereka.
Syarat pertama
yang harus terpenuhi adalah kita dan siswa yang kita ajar terkoneksi internet
(facebook). Hal ini rasanya tidak terlalu sulit karena hampir semua gawai telah
dilengkapi dengan fasilitas internet dan kemudahan dalam penggunaan kartu (sim card) prabayar yang lumayan hemat.
Syarat kedua adalah memiliki akun Facebook, memiliki grup, dan pastikan semua
siswa tergabung dalam grup tersebut.
Sistem penilaian
yang digunakan guru meliputi isi makalah/tugas (kesesuaian antara apa yang
ditagihkan dan yang dikerjakan siswa), tampilan (khususnya pada tugas mind map), dan ketepatan waktu
pengumpulan (sebaiknya setiap tugas dilengkapi batas akhir pengumpulan,
sehingga siswa terbiasa disiplin dalam pengerjaan tugas). Ketiga penilaian
diatas dilakukan oleh guru, selain itu dapat juga dipertimbangkan penilaian
yang dilakukan oleh teman sendiri. Caranya setelah batas akhir pengumpulan
tugas guru dapat menampilkan hasil karya siswa di posting, siswa lain dapat
mengklik “like” untuk menunjukkan
apresiasi terhadap karya temannya tersebut. Penilaian yang dilakukan teman
hanya sebatas popularitas (subyektif), namun hal ini dapat menjadi semangat
untuk mengerjakan.
Pembelajaran
dengan memanfaatkan media sosial hanyalah suatu sarana, siswa diajak
berdiskusi, mengerjakan tugas namun mereka tetap senang, tidak merasa
terbebani.
-- artikel ini pernah dimuat di media Jawa Pos tgl 17 maret 2019 klik linkPenulis : Esti Widiawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar